ok

Responsive Advertisement

Kebijakan Pendidikan Kaltim, Efektifkah? (Catatan bagi Gubernur Baru Kaltim 2013-2018)




Tulisan ini saya buat, disela-sela waktu ketika mendampingi kepala sekolah dan guru dalam suatu training dari sebuah program peningkatan mutu pendidikan, kerjasama kemitraan pendidikan antara Indonesia-Australia di Kaltim.

Training ini sendiri dimaksudkan untuk melatih pihak sekolah dapat menyusun sebuah program perencanaan peningkatan mutu pendidikan sekolah. Mereka diminta untuk membuat sebuah Evaluasi diri sekolah/madrasah (EDS/M), yang kemudian dari hasil evaluasi diri tersebut, sekolah diminta menyusun Rencana Kerja sekolah (RKS/M), menuangkannya kedalam Rencana Kerja Anggaran Sekolah (RKAS/M).

Setelah mereka diberi penguatan teori tentang tata cara penyusunannya, mereka diminta untuk membuat perencanaan-perencanaannya berdasarkan EDS/M nya masing-masing. Pasca EDS/M berhasil mereka buat, mereka kemudian diminta untuk membuat rencana program pendidikan.

Hasilnya, jauh dari apa yang diperkirakan. Ternyata, rata-rata sekolah tersebut banyak mengajukan program dan menggarkannya untuk pelatihan peningkatan mutu guru, seperti program penyusunan KTSP, penyusunan silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), pelatihan ICT, pembelajaran aktif dan sebagainya.

Banyak pula, sekolah/madrasah mengajukan untuk program rehab bangunan dan penambahan sarana dan prasarana, seperti pengecatan sekolah, pembuatan toilet, pembuatan taman, pembuutan wastafel/cuci tangan siswa, pembuatan sanitasi, kantin, UKS, pembelian rak perpustakaan, pembelian meja kursi siswa, meja kursi guru, lemari arsip, lemari kelas, papan tulis dan sarana lainnya. satu lagi fakta yang mengherankan saya adalah mayoritas dari program-program yang diajukan sekolah berorientasi “apapun programnya, belanja sarana dan barang outputnya.

Melihat hasil ini, Advisor program AusAID kemudian bertanya kepada saya, mengapa bisa begitu pak?. dengan raut muka heran, dia kemudian menyertainya dengan serentetan pertanyaan yang tentu saja, saya tidak dapat dengan mudah menjawabnya. Bukankah Kaltim ini dikenal sebagai daerah dengan pendapatan daerah yang tinggi?; bukankah Kaltim memiliki kebijakan pendidikan yang luar biasa hebat gaungnya?; bukankah kaltim ini ada BOSDA, ada Insentif Guru daerah yang besar, ada beasiswa kualifikasi guru yang massif?.

Kok, program yang muncul dan mayoritas mereka ajukan kebalikan dan kontraproduktif dengan yang semestinya dampak dari kebijakan-kebijakan yang dikenal ‘Cemerlang’ itu?, demikian ungkap dia bernada protes.

Dari proses dan realitas inilah, saya berkesimpulan bahwa betapa kebijakan dan program-program besar pendidikan di kaltim memang belum memiliki relevansi dan dampak yang kuat terhadap peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.

Kalau mau jujur, harus diakui, bahwa kebijakan dan program  pendidikan di Kaltim, sangat masih terbatas pada distribusi anggaran yang besar-yang memang Kaltim memilikinya- tetapi belum di desain ke arah peningkatan mutu sekolah itu sendiri.

Saya sendiri mengakui,juga kepala sekolah dan para peserta training itu, bahwa beberapa kebijakan pendidikan di Kaltim bisa dibilang melebihi dari kebijakan-kebijakan daerah di luar Kaltim. ada BOSDA, Beasiswa Kaltim Cemerlang, Insentif Guru, cetak buku teks mata pelajaran kurikulum 2013 dan kebijakan-kebijakan  pendidikan lainnya.

Namun, ketika kebijakan-kebijakan pendidikan besar dan memakan biaya anggaran miliaran tersebut, tidak dikawal dan dibarengi dengan desain ke arah mutu pendidikan itu sendiri, maka tentu saja yang terjadi adalah sebuah pertanyaan: Sudah efektifkah kebijakan pendidikan Kaltim?

Dalam kamus komunikasi massa, yang kemudian jika ditarik ke ranah politik, kebijakan pendidikan seperti ini hanyalah akan menjadi kebijakan Pop. Kebijakan yang hanya berorientasi pada menaikkan popularitas dan citra publik bagi penguasa. Tentu saja bagi Gubernur sebagai pengendali kuasa, dan akan menjadi alat kampanye politik-apalagi menjelang Pilgub,  – yang perhelatannya akan berlangsung beberapa saat lagi.

Membiarkan pola ini tentu saja tidak baik dan efektif bagi pembangunan pendidikan Kaltim di masa yang akan datang. untuk itu, penulis merasa perlu menghadirkan catatan-catatan ini bagi siapapun gubernur terpilih Kaltim di masa mendatang.

 

Mengapa Perlu di Pertanyakan?

 

Mempertanyakan sebuah kebijakan adalah hal lumrah dan bersifat evaluatif. Apalagi menyangkut kebijakan publik Kalimantan Timur. tentu saja., untuk perbaikan di masa mendatang.

Barangkali publik merasakan dan penulis juga dapatkan, bahwa fakta lapangan menunjukkan bahwa sampai sekarang pun, lembaga pendidikan seperti sekolah/madrasah di Kaltim masih banyak yang belum atau tidak sepenuhnya memahami dan mampu memenuhi 8 standar pendidikan yang menjadi standar secara nasional. padahal, kebijakan pendidikan Kaltim gaungnya sudah sangat begitu dasyat !

Ya, penulis menyadari, idealnya suatu kebijakan pendidikan yang besar dan memakan anggaran yang tak sedikit mestinya harus memiliki signifikansi yang lurus terhadap peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Namun, ketika melihat program-program yang diajukan sekolah diatas, tentu saja patut disayangkan.

Idealnya, ketika terdapat kebijakan pemberian insentif bagi guru yang lumayan besar, maka guru harus sudah dapat secara mandiri mengingkatkan kapasitas dirinya untuk memiliki kemampuan paedagogis dan profesionalitas pembelajaran. sehingga, persoalan silabus, RPP, kemampuan penggunaan ICT dan pembelajaran aktif dianggap selesai.

ketika terdapat kebijakan BOSDA yang cukup besar, selain BOSNAS, maka idealnya persoalan Implementasi kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sudah tuntas, karena secara operasional pemanfaatan dana BOS bisa di gunakan untuk keperluan itu.

ketika Kaltim dikenal memiliki anggaran daerah yang sangat besar dan dikenal memiliki kebijakan pendidikan yang ‘cemerlang’, maka persoalan sarana dan prasarana seperti rehab kelas dan pengadaan-pengadaan fasilitas sekolah seperti diatas mestinya sudah selesai dan  teratasi.

Ternyata tidak !. inilah letak ketidak-efektifannya. tentu saja hal ini menjadi sesuatu yang wajib dipertanyakan dalam konteks memajukan sumber daya manusia.

barangkali pepatah yang tepat menggambarkan hal ini adalah Lain Lubuk Lain Belalang. Bahwa kebijakan pendidikan yang dikenal ‘cemerlang’ di Kaltim ternyata belum mampu mengarah dan membuat mutu sekolah menjadi lebih efektif. Penulis cenderung memaknai, bahwa kebijakan yang ada masih sebatas berorientasi distribusi anggaran dan karena memang Kaltim memilikinya. Wajar saja tentunya dan rakyat kaltim memang berhak mendapatkannya. Singkatnya, program ‘cemerlang’ tak sepenuhnya mampu menghasilkan mutu pendidikan yang cemerlang, jika tak disertai desain ke arah itu

Guna memastikan bahwa apa yang diprogramkan para kepala sekolah dan guru berdasarkan evaluasi diri sekolah (EDS/M) masing-masing memang prioritas dan kebutuhan yang benar, sehingga layak menjadi rencana kerja sekolah/madrasah (RKS/M),  maka saya dan tim melakukan Need Assessment.

Need assessment sendiri merupakan kegiatan yang didesain untuk menilai kebutuhan sekolah/madrasah berdasarkan instrumen akreditasi. Mengapa akreditasi?. Ya, karena pada dasarnya mutu sekolah/madrasah akurasinya akan terukur bila dinilai melalui instrumen-instrumen akreditasi. instrumen inilah yang mampu menunjukkan apakah sekolah/madrasah mampu memenuhi 8 standar pendidikan nasional.

akreditasi sendiri hakekatnya adalah jaminan dari lembaga pendidikan yang bersngkutan kepada masyarakat bahwa layanan pendidikan yang diberikan adalah layak dan bermutu. Tentu saja, need assesment yang saya lakukan disini menginginkan sebuah hasil yang valid, apa adanya berdasarkan kondisi riil sekolah/madrasah. sebab, hal ini akan menjadi dasar perlakuan (treatment) apa yang paling layak diberikan agar program peningkatan mutu bisa efektif.

Hasilnya?. ternyata apa yang diprogramkan kepala sekolah/madrasah dan guru pada training diawal memang benar adanya. bahwa program-program yang disusun tersebut sesuai dengan kebutuhan prioritas mereka.

Meski sejak 2006 misalnya, pemberlakukan KTSP telah di ketok dan setiap tahun sejak itu selalu dianggarkan program ke arah itu, ternyata banyak sekolah/madrasah yang sampai sekarang belum mampu mewujudkannya. klaim memilikinya ya, namun ketika dicek dokumen-dokumen yang dipersyaratkan sebagai KTSP yang sah, banyak diantara mereka yang tak mampu menunjukkan. demikian juga soal silabus dan RPP sebagai syarat utama pembelajaran, banyak tercerai berai dan tak mampu ditunjukkan oleh para guru. Boro-boro, para guru mengimpelentasikan pembejaran aktif berdasarkan 5 prinsip pembelajaran.

ketika di cek kondisi sarana dan prasarana pendidikan relatif menunjukkan kebenaranya. banyak sekolah/madrasah yang tidak mampu melengkapi standar-standar yang ada. terdapat banyak sekolah/madrasah dengan kondisi fisik yang tidak ideal. Bangunan tidak layak, ruang kelas tidak ideal, perpustakaan belum representatif, taman tak asri bahkan banyak yang tidak memilikinya. tak memiliki UKS, kantin dan toilet yang jauh dari standar kesehatan dan ruang dan fasilitas belajar dan pendidikan yang kurang disana-sini dan sebagainya.

Kelemahan lainnya adalah tata administrasi dan keuangan sangat jauh dari kesan efektif. Hampir tidak ada sekolah yang telah memiliki standar operating procedure (SOP), pedoman/juknis setiap pelaksanaan program pendidikan, dan administrasi pendidikan. apalagi, administrasi keuangan yang mampu mencerminkan akuntabilitas.

Jujur harus diakui, memang terdapat sekolah/madrasah yang telah ideal, namun jumlah tersebut sangat terbatas pada sekolah/madrasah unggulan dan itu bisa dihitung dengan jari di masing-masing kabupaten/kota. selebihnya dan menjadi mayoritas, kondisinya seperti yang telah disebutkan diatas.  Hanya beberapa sekolah/madrasah negeri unggulan yang memiliki itu, selebihnya, apalagi swasta masih jauh dari harapan.

 

Apakah salah sasaran?

 

Tidak bisa dikatakan salah sepenuhnya, tetapi tidak tepat sasaran, ya!.  Sasaran program yang ada, masih sangat terbatas sekedar kebijakan pendidikan yang berorientasi pada memenuhi kebijakan nasional, alokasi 20% anggaran. untuk itu, polanya sekedar distribusi nominal. Jika memang memilikinya dan mampu, tentu saja mudah.

Populis memang. hemat saya, tidak ada orang yang tidak senang jika anggaran pendidikan tersedia dengan sangat banyak dan semua orang merasakannya, apalagi berbentuk bagi-bagi rupiah. siapapun gubernurnya, jika seperti ini, maka akan mendapat simpati.

Tetapi jika kondisi dan pola seperti ini terbiarkan, maka hakekatnya merupakan kerugian.  kerugian karena telah banyak anggaran yang dikeluarkan, tetapi tidak mampu mendapatkan dampak yang semestinya. mutu pendidikan tidak meningkat dan tak terjamin. kerugian terbesarnya adalah daya saing generasi kaltim tetap kalah dengan generasi-generasi daerah lain, meski daerah lain tak memiliki kebijakan sebesar kaltim.

Dalam bahasa rencana strategis kebijakan pendidikan, Kaltim hanya akan berhasil dalam perluasan akses pendidikan, tetapi tidak berhasil dalam daya saing dan relevansi pendidikan, meski anggaran pendidikan yang diberikan sudah sangatlah besar.  

 

Catatan Bagi Sang Gubernur Mendatang

Dari hal-hal diatas, perlu upaya-upaya yang lebih efektif bagi sebuah desain kebijakan atau program pendidikan yang telah menelan APBD Kaltim yang sangat besar ini. Biar tak terkesan muspro, implementasi program pendidikan yang ‘cermerlang’ itu harus didasari rencana yang detail, terukur, memilki target program yang nyata dan dampak yang diharapkan bagi peningkatan mutu pendidikan.

Pertama, kebijakan dan program pendidikan hendaknya diarahkan pada perluasan akses, daya saing dan relevansi bagi mutu pendidikan. Apa yang terjadi sekarang, menurut hemat penulis masih sekedar memenuhi perluasan akses.

Program pendidikan seperti beasiswa kaltim cemerlang memang sudah ‘sewajarnya’ dan ‘seharusnya’ dirasakan oleh masyarakat kaltim, karena itulah memang hak nya. masyarakat memang memiliki hak dan pemerintah wajib memenuhi akan kemudahan mengakses hak-hak pendidikan. Namun, hal itu sangatlah terbatas pada perluasan akses.

Namun program seperti BOSDA dan insentif guru haruslah diarahkan pada peningkatan daya saing dan relevansi bagi peningkatan mutu pendidikan. untuk itu, diperlukan perencanaan dan ukuran yang jelas, apakah pemanfaatan BOSDA akan berdampak pada peningkatan mutu atau hanya sebatas akan habis untuk sesuatui yang ‘habis pakai’ dan hanya menambah pundi-pundi kesejahteraan penikmatnya.

Program insentif guru, hendaknya disertai target kerja dan kompetensi yang harus mampu dibuktikan penerima dengan target mutu pendidikan yang menjadi kewajibannya. apakah pasca menerima insentif, guru bisa memenuhi target-target mutunya.

Bukan kesalahan guru kemudian, jika memang pemerintah kaltim tidak menetukan target-target dan tagihan-tagihan capaiannya. kecuali, jika program tersebut hanya dimaksudkan untuk meningkatkan popularitasnya di mata guru yang memang jumlah yang sedikit itu. singkatnya, program pendidikan sebatas komoditas politik belaka.

Kedua, program-program bantuan pendidikan Kaltim hendaknya diarahkan keterpenuhan sarana-sarana  pendidikan kaltim secara keseluruhan. Maksudnya, tidak membedakan apakah itu negeri atau swasta.  Perlakukan setara (equal) dan non diskriminasi merupakan perwujudan dari prinsip eduacation for all. Hal ini tidak boleh sekedar diukur dari kebijakan pemberian BOSDA dan Insentif guru. Namun, juga harus sampai pada level keterpenuhan sarana dan prasarana pendidikan.

Hal ini penting, sebab generasi Kaltim tidak hanya generasi ‘negeri’, tetapi juga generasi yang menempuh pendidikan di sekolah/madrasah swasta. Masyarakat bisa melihat secara faktual, betapa jika kita menengok sekolah/madrasah swasta, tampilan sarana prasarana akan menunjukkan situasi yang sangat kontras jika dibandingkan dengan sekolah/madrasah negeri.

Madrasah misalnya yang hampir 90 % ini, betapa jika dilihat sarana dan pra sarana mayoritas sangatlah tidak ideal baik dari sisi bangunan, kondisi kelas maupun sarana penunjang pendidikannya. Namun yang luar biasa, adalah dengan kondisi serba keterbatasan, toh mereka tetap semangat dan berjuang memberikan layanan pendidikan. akankah pemerintah daerah tutup mata?. saya yakin, gubernur yang komit tidaklah berpangku tangan.

Ketiga, Pemerintah Kaltim ke depan, hendaklah memiliki roadmap peningkatan mutu pendidikan yang terukur. Meski tak menganggap keliru, roadmap yang penulis maksud disini tentu bukan roadmap-roadmap tentang pendirian-pendirian lembaga-lembaga baru itu, tetapi roadmap tentang sekolah/madrasah yang telah ada yang belum tersentuh secara nyata dan maksimal dalam peningkatan mutunya.

peta program berisi dan harus dimulai dari sebuah peta kondisi riil pendidikan saat ini, prioritas apa yang perlu dan dibutuhkan oleh sekolah/madrasah, treatment program seperti apa yang perlu dilakukan sehingga mampu menjamin mutu dari setiap tahap meningkat, bagaimana strategi mentoring untuk mencapainya, bagaimana monitor dan kontrolnya dan output apa yang harus ada dan bisa buktikan secara riil.

untuk ini, peran dinas pendidikan dan kementerian agama bidang pendidikan tidak bisa sekedar urusan administratif pendidikan. Tidak sekedar mengadministrasi pencaiaran BOSDA, insentif guru, penyelenggaran ujian-ujian, distribusi beasiswa dan bantuan-bantuan. tetapi harus sampai level strategis peningkatan mutu yang mampu terukur hasilnya. Pengawas-pengawas pendidikan tidak boleh lagi sekedar alat monitor, tetapi juga diarahkan menjadi pendamping (mentor) bagi mutu itu.

Hal ini hanyalah saran sederhana, namun saya meyakini, jika mampu dilakukan oleh gubernur mendatang, maka mutu pendidikan di kaltim dengan anggaran pendidikan yang sangat banyak ini akan mampu menemukan efektifitas kebijakan pendidikannya sampai level mutu. kecuali, jika sang gubernur hanya berorientasi pada popularitas dan menjadikan pendidikan sebagai komoditas politik. Semoga dan Bangkitlah Mutu Pendidikan !


Oleh : Ahmad Muthohar, AR
Dosen STAIN Samarinda &
Coordinator Implementation Program
SSQ Com. 3 AusAID-MDC Kaltim

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu