Tulisan
ini saya buat, disela-sela waktu ketika mendampingi kepala sekolah dan guru
dalam suatu training dari sebuah program peningkatan mutu pendidikan, kerjasama
kemitraan pendidikan antara Indonesia-Australia di Kaltim.
Training
ini sendiri dimaksudkan untuk melatih pihak sekolah dapat menyusun sebuah
program perencanaan peningkatan mutu pendidikan sekolah. Mereka diminta untuk
membuat sebuah Evaluasi diri sekolah/madrasah (EDS/M), yang kemudian dari hasil
evaluasi diri tersebut, sekolah diminta menyusun Rencana Kerja sekolah (RKS/M),
menuangkannya kedalam Rencana Kerja Anggaran Sekolah (RKAS/M).
Setelah
mereka diberi penguatan teori tentang tata cara penyusunannya, mereka diminta
untuk membuat perencanaan-perencanaannya berdasarkan EDS/M nya masing-masing. Pasca
EDS/M berhasil mereka buat, mereka kemudian diminta untuk membuat rencana
program pendidikan.
Hasilnya,
jauh dari apa yang diperkirakan. Ternyata, rata-rata sekolah tersebut banyak
mengajukan program dan menggarkannya untuk pelatihan peningkatan mutu guru,
seperti program penyusunan KTSP, penyusunan silabus, rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP), pelatihan ICT, pembelajaran aktif dan sebagainya.
Banyak
pula, sekolah/madrasah mengajukan untuk program rehab bangunan dan penambahan
sarana dan prasarana, seperti pengecatan sekolah, pembuatan toilet, pembuatan
taman, pembuutan wastafel/cuci tangan siswa, pembuatan sanitasi, kantin, UKS,
pembelian rak perpustakaan, pembelian meja kursi siswa, meja kursi guru, lemari
arsip, lemari kelas, papan tulis dan sarana lainnya. satu lagi fakta yang
mengherankan saya adalah mayoritas dari program-program yang diajukan sekolah
berorientasi “apapun programnya, belanja sarana dan barang outputnya.
Melihat
hasil ini, Advisor program AusAID kemudian bertanya kepada saya, mengapa bisa
begitu pak?. dengan raut muka heran, dia kemudian menyertainya dengan
serentetan pertanyaan yang tentu saja, saya tidak dapat dengan mudah
menjawabnya. Bukankah Kaltim ini dikenal
sebagai daerah dengan pendapatan daerah yang tinggi?; bukankah Kaltim memiliki
kebijakan pendidikan yang luar biasa hebat gaungnya?; bukankah kaltim ini ada
BOSDA, ada Insentif Guru daerah yang besar, ada beasiswa kualifikasi guru yang
massif?.
Kok,
program yang muncul dan mayoritas mereka ajukan kebalikan dan kontraproduktif
dengan yang semestinya dampak dari kebijakan-kebijakan yang dikenal ‘Cemerlang’
itu?, demikian ungkap dia bernada protes.
Dari
proses dan realitas inilah, saya berkesimpulan bahwa betapa kebijakan dan
program-program besar pendidikan di kaltim memang belum memiliki relevansi dan
dampak yang kuat terhadap peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.
Kalau
mau jujur, harus diakui, bahwa kebijakan dan program pendidikan di Kaltim, sangat masih terbatas
pada distribusi anggaran yang besar-yang memang Kaltim memilikinya- tetapi
belum di desain ke arah peningkatan mutu sekolah itu sendiri.
Saya
sendiri mengakui,juga kepala sekolah dan para peserta training itu, bahwa
beberapa kebijakan pendidikan di Kaltim bisa dibilang melebihi dari
kebijakan-kebijakan daerah di luar Kaltim. ada BOSDA, Beasiswa Kaltim
Cemerlang, Insentif Guru, cetak buku teks mata pelajaran kurikulum 2013 dan
kebijakan-kebijakan pendidikan lainnya.
Namun,
ketika kebijakan-kebijakan pendidikan besar dan memakan biaya anggaran miliaran
tersebut, tidak dikawal dan dibarengi dengan desain ke arah mutu pendidikan itu
sendiri, maka tentu saja yang terjadi adalah sebuah pertanyaan: Sudah efektifkah kebijakan pendidikan Kaltim?
Dalam
kamus komunikasi massa, yang kemudian jika ditarik ke ranah politik, kebijakan
pendidikan seperti ini hanyalah akan menjadi kebijakan Pop. Kebijakan yang hanya
berorientasi pada menaikkan popularitas dan citra publik bagi penguasa. Tentu
saja bagi Gubernur sebagai pengendali kuasa, dan akan menjadi alat kampanye
politik-apalagi menjelang Pilgub, – yang
perhelatannya akan berlangsung beberapa saat lagi.
Membiarkan
pola ini tentu saja tidak baik dan efektif bagi pembangunan pendidikan Kaltim
di masa yang akan datang. untuk itu, penulis merasa perlu menghadirkan
catatan-catatan ini bagi siapapun gubernur terpilih Kaltim di masa mendatang.
Mengapa Perlu di Pertanyakan?
Mempertanyakan
sebuah kebijakan adalah hal lumrah dan bersifat evaluatif. Apalagi menyangkut
kebijakan publik Kalimantan Timur. tentu saja., untuk perbaikan di masa
mendatang.
Barangkali
publik merasakan dan penulis juga dapatkan, bahwa fakta lapangan menunjukkan
bahwa sampai sekarang pun, lembaga pendidikan seperti sekolah/madrasah di
Kaltim masih banyak yang belum atau tidak sepenuhnya memahami dan mampu memenuhi
8 standar pendidikan yang menjadi standar secara nasional. padahal, kebijakan pendidikan
Kaltim gaungnya sudah sangat begitu dasyat !
Ya,
penulis menyadari, idealnya suatu kebijakan pendidikan yang besar dan memakan
anggaran yang tak sedikit mestinya harus memiliki signifikansi yang lurus
terhadap peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Namun, ketika melihat
program-program yang diajukan sekolah diatas, tentu saja patut disayangkan.
Idealnya,
ketika terdapat kebijakan pemberian insentif bagi guru yang lumayan besar, maka
guru harus sudah dapat secara mandiri mengingkatkan kapasitas dirinya untuk memiliki
kemampuan paedagogis dan profesionalitas pembelajaran. sehingga, persoalan
silabus, RPP, kemampuan penggunaan ICT dan pembelajaran aktif dianggap selesai.
ketika
terdapat kebijakan BOSDA yang cukup besar, selain BOSNAS, maka idealnya
persoalan Implementasi kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sudah tuntas,
karena secara operasional pemanfaatan dana BOS bisa di gunakan untuk keperluan
itu.
ketika
Kaltim dikenal memiliki anggaran daerah yang sangat besar dan dikenal memiliki
kebijakan pendidikan yang ‘cemerlang’, maka persoalan sarana dan prasarana
seperti rehab kelas dan pengadaan-pengadaan fasilitas sekolah seperti diatas
mestinya sudah selesai dan teratasi.
Ternyata
tidak !. inilah letak ketidak-efektifannya. tentu saja hal ini menjadi sesuatu
yang wajib dipertanyakan dalam konteks memajukan sumber daya manusia.
barangkali
pepatah yang tepat menggambarkan hal ini adalah Lain Lubuk Lain Belalang. Bahwa kebijakan pendidikan yang dikenal
‘cemerlang’ di Kaltim ternyata belum mampu mengarah dan membuat mutu sekolah
menjadi lebih efektif. Penulis cenderung memaknai, bahwa kebijakan yang ada
masih sebatas berorientasi distribusi anggaran dan karena memang Kaltim
memilikinya. Wajar saja tentunya dan rakyat kaltim memang berhak mendapatkannya.
Singkatnya, program ‘cemerlang’ tak sepenuhnya mampu menghasilkan mutu
pendidikan yang cemerlang, jika tak disertai desain ke arah itu
Guna
memastikan bahwa apa yang diprogramkan para kepala sekolah dan guru berdasarkan
evaluasi diri sekolah (EDS/M) masing-masing memang prioritas dan kebutuhan yang
benar, sehingga layak menjadi rencana kerja sekolah/madrasah (RKS/M), maka saya dan tim melakukan Need Assessment.
Need
assessment sendiri merupakan kegiatan yang didesain untuk menilai kebutuhan sekolah/madrasah
berdasarkan instrumen akreditasi. Mengapa akreditasi?. Ya, karena pada dasarnya
mutu sekolah/madrasah akurasinya akan terukur bila dinilai melalui
instrumen-instrumen akreditasi. instrumen inilah yang mampu menunjukkan apakah
sekolah/madrasah mampu memenuhi 8 standar pendidikan nasional.
akreditasi
sendiri hakekatnya adalah jaminan dari lembaga pendidikan yang bersngkutan
kepada masyarakat bahwa layanan pendidikan yang diberikan adalah layak dan
bermutu. Tentu saja, need assesment yang saya lakukan disini menginginkan
sebuah hasil yang valid, apa adanya berdasarkan kondisi riil sekolah/madrasah.
sebab, hal ini akan menjadi dasar perlakuan (treatment)
apa yang paling layak diberikan agar program peningkatan mutu bisa efektif.
Hasilnya?.
ternyata apa yang diprogramkan kepala sekolah/madrasah dan guru pada training
diawal memang benar adanya. bahwa program-program yang disusun tersebut sesuai
dengan kebutuhan prioritas mereka.
Meski
sejak 2006 misalnya, pemberlakukan KTSP telah di ketok dan setiap tahun sejak
itu selalu dianggarkan program ke arah itu, ternyata banyak sekolah/madrasah yang
sampai sekarang belum mampu mewujudkannya. klaim memilikinya ya, namun ketika
dicek dokumen-dokumen yang dipersyaratkan sebagai KTSP yang sah, banyak
diantara mereka yang tak mampu menunjukkan. demikian juga soal silabus dan RPP
sebagai syarat utama pembelajaran, banyak tercerai berai dan tak mampu
ditunjukkan oleh para guru. Boro-boro,
para guru mengimpelentasikan pembejaran aktif berdasarkan 5 prinsip pembelajaran.
ketika
di cek kondisi sarana dan prasarana pendidikan relatif menunjukkan kebenaranya.
banyak sekolah/madrasah yang tidak mampu melengkapi standar-standar yang ada.
terdapat banyak sekolah/madrasah dengan kondisi fisik yang tidak ideal. Bangunan
tidak layak, ruang kelas tidak ideal, perpustakaan belum representatif, taman
tak asri bahkan banyak yang tidak memilikinya. tak memiliki UKS, kantin dan
toilet yang jauh dari standar kesehatan dan ruang dan fasilitas belajar dan
pendidikan yang kurang disana-sini dan sebagainya.
Kelemahan
lainnya adalah tata administrasi dan keuangan sangat jauh dari kesan efektif.
Hampir tidak ada sekolah yang telah memiliki standar operating procedure (SOP), pedoman/juknis setiap
pelaksanaan program pendidikan, dan administrasi pendidikan. apalagi,
administrasi keuangan yang mampu mencerminkan akuntabilitas.
Jujur
harus diakui, memang terdapat sekolah/madrasah yang telah ideal, namun jumlah
tersebut sangat terbatas pada sekolah/madrasah unggulan dan itu bisa dihitung
dengan jari di masing-masing kabupaten/kota. selebihnya dan menjadi mayoritas,
kondisinya seperti yang telah disebutkan diatas. Hanya beberapa sekolah/madrasah negeri
unggulan yang memiliki itu, selebihnya, apalagi swasta masih jauh dari harapan.
Apakah salah sasaran?
Tidak
bisa dikatakan salah sepenuhnya, tetapi tidak tepat sasaran, ya!. Sasaran program yang ada, masih sangat
terbatas sekedar kebijakan pendidikan yang berorientasi pada memenuhi kebijakan
nasional, alokasi 20% anggaran. untuk itu, polanya sekedar distribusi nominal.
Jika memang memilikinya dan mampu, tentu saja mudah.
Populis
memang. hemat saya, tidak ada orang yang tidak senang jika anggaran pendidikan
tersedia dengan sangat banyak dan semua orang merasakannya, apalagi berbentuk
bagi-bagi rupiah. siapapun gubernurnya, jika seperti ini, maka akan mendapat
simpati.
Tetapi
jika kondisi dan pola seperti ini terbiarkan, maka hakekatnya merupakan
kerugian. kerugian karena telah banyak
anggaran yang dikeluarkan, tetapi tidak mampu mendapatkan dampak yang
semestinya. mutu pendidikan tidak meningkat dan tak terjamin. kerugian
terbesarnya adalah daya saing generasi kaltim tetap kalah dengan
generasi-generasi daerah lain, meski daerah lain tak memiliki kebijakan sebesar
kaltim.
Dalam
bahasa rencana strategis kebijakan pendidikan, Kaltim hanya akan berhasil dalam
perluasan akses pendidikan, tetapi tidak berhasil dalam daya saing dan
relevansi pendidikan, meski anggaran pendidikan yang diberikan sudah sangatlah
besar.
Catatan Bagi Sang Gubernur Mendatang
Dari
hal-hal diatas, perlu upaya-upaya yang lebih efektif bagi sebuah desain
kebijakan atau program pendidikan yang telah menelan APBD Kaltim yang sangat
besar ini. Biar tak terkesan muspro, implementasi
program pendidikan yang ‘cermerlang’ itu harus didasari rencana yang detail,
terukur, memilki target program yang nyata dan dampak yang diharapkan bagi
peningkatan mutu pendidikan.
Pertama, kebijakan dan program pendidikan hendaknya diarahkan pada
perluasan akses, daya saing dan relevansi bagi mutu pendidikan. Apa yang
terjadi sekarang, menurut hemat penulis masih sekedar memenuhi perluasan akses.
Program
pendidikan seperti beasiswa kaltim cemerlang memang sudah ‘sewajarnya’ dan
‘seharusnya’ dirasakan oleh masyarakat kaltim, karena itulah memang hak nya.
masyarakat memang memiliki hak dan pemerintah wajib memenuhi akan kemudahan
mengakses hak-hak pendidikan. Namun, hal itu sangatlah terbatas pada perluasan
akses.
Namun
program seperti BOSDA dan insentif guru haruslah diarahkan pada peningkatan
daya saing dan relevansi bagi peningkatan mutu pendidikan. untuk itu,
diperlukan perencanaan dan ukuran yang jelas, apakah pemanfaatan BOSDA akan
berdampak pada peningkatan mutu atau hanya sebatas akan habis untuk sesuatui
yang ‘habis pakai’ dan hanya menambah pundi-pundi kesejahteraan penikmatnya.
Program
insentif guru, hendaknya disertai target kerja dan kompetensi yang harus mampu
dibuktikan penerima dengan target mutu pendidikan yang menjadi kewajibannya.
apakah pasca menerima insentif, guru bisa memenuhi target-target mutunya.
Bukan
kesalahan guru kemudian, jika memang pemerintah kaltim tidak menetukan
target-target dan tagihan-tagihan capaiannya. kecuali, jika program tersebut
hanya dimaksudkan untuk meningkatkan popularitasnya di mata guru yang memang
jumlah yang sedikit itu. singkatnya, program pendidikan sebatas komoditas
politik belaka.
Kedua, program-program bantuan pendidikan Kaltim hendaknya
diarahkan keterpenuhan sarana-sarana
pendidikan kaltim secara keseluruhan. Maksudnya, tidak membedakan apakah
itu negeri atau swasta. Perlakukan
setara (equal) dan non diskriminasi
merupakan perwujudan dari prinsip eduacation
for all. Hal ini tidak boleh sekedar diukur dari kebijakan pemberian BOSDA
dan Insentif guru. Namun, juga harus sampai pada level keterpenuhan sarana dan
prasarana pendidikan.
Hal
ini penting, sebab generasi Kaltim tidak hanya generasi ‘negeri’, tetapi juga
generasi yang menempuh pendidikan di sekolah/madrasah swasta. Masyarakat bisa
melihat secara faktual, betapa jika kita menengok sekolah/madrasah swasta,
tampilan sarana prasarana akan menunjukkan situasi yang sangat kontras jika
dibandingkan dengan sekolah/madrasah negeri.
Madrasah
misalnya yang hampir 90 % ini, betapa jika dilihat sarana dan pra sarana
mayoritas sangatlah tidak ideal baik dari sisi bangunan, kondisi kelas maupun
sarana penunjang pendidikannya. Namun yang luar biasa, adalah dengan kondisi
serba keterbatasan, toh mereka tetap semangat dan berjuang memberikan layanan
pendidikan. akankah pemerintah daerah tutup mata?. saya yakin, gubernur yang
komit tidaklah berpangku tangan.
Ketiga, Pemerintah Kaltim ke depan, hendaklah memiliki roadmap peningkatan mutu pendidikan yang
terukur. Meski tak menganggap keliru, roadmap yang penulis maksud disini tentu
bukan roadmap-roadmap tentang pendirian-pendirian lembaga-lembaga baru itu,
tetapi roadmap tentang sekolah/madrasah yang telah ada yang belum tersentuh
secara nyata dan maksimal dalam peningkatan mutunya.
peta
program berisi dan harus dimulai dari sebuah peta kondisi riil pendidikan saat
ini, prioritas apa yang perlu dan dibutuhkan oleh sekolah/madrasah, treatment
program seperti apa yang perlu dilakukan sehingga mampu menjamin mutu dari
setiap tahap meningkat, bagaimana strategi mentoring untuk mencapainya,
bagaimana monitor dan kontrolnya dan output apa yang harus ada dan bisa
buktikan secara riil.
untuk
ini, peran dinas pendidikan dan kementerian agama bidang pendidikan tidak bisa
sekedar urusan administratif pendidikan. Tidak sekedar mengadministrasi
pencaiaran BOSDA, insentif guru, penyelenggaran ujian-ujian, distribusi
beasiswa dan bantuan-bantuan. tetapi harus sampai level strategis peningkatan
mutu yang mampu terukur hasilnya. Pengawas-pengawas pendidikan tidak boleh lagi
sekedar alat monitor, tetapi juga diarahkan menjadi pendamping (mentor) bagi mutu itu.
Hal
ini hanyalah saran sederhana, namun saya meyakini, jika mampu dilakukan oleh
gubernur mendatang, maka mutu pendidikan di kaltim dengan anggaran pendidikan
yang sangat banyak ini akan mampu menemukan efektifitas kebijakan pendidikannya
sampai level mutu. kecuali, jika sang gubernur hanya berorientasi pada
popularitas dan menjadikan pendidikan sebagai komoditas politik. Semoga dan
Bangkitlah Mutu Pendidikan !
0 Komentar